Direktur Eksekutif TII: Kampanye Politik di Media Sosial Belum Diatur Secara Jelas

Direktur Eksekutif TII Adinda Tenriangke Muchtar mengatakan, pada aspek regulasi, kampanye politik di media sosial masih belum diatur secara spesifik dan jelas. Hal itu berdasarkan hasil penelitian The Indonesian Institutue (TII) Center for Public Policy Research mengenai penataan kampanye politik di media sosial untuk persiapan pemilu dan pilkada serentak 2024.

Selain itu, pengaturan yang ada pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) masih memiliki ketidaksinkronan. Oleh karenanya, bentuk dan mekanisme pemberian sanksi administratif terhadap pelanggaran kampanye di media sosial masih belum memadai.

"KPU dan Bawaslu perlu menyamakan persepsi mengenai definisi kampanye, definisi media sosial, materi kampanye, metode kampanye, larangan kampanye, iklan kampanye, serta sanksi pelanggaran kampanye di media sosial," kata Adinda melalui keterangan tertulis, Jumat (14/4/2023).

KPU perlu mengatur mengenai standar transparansi dan akuntabilitas iklan kampanye politik. Di sisi lain, Bawaslu didorong untuk memperkuat penegakan sanksi administratif atas pelanggaran kampanye politik di media sosial serta mengumumkan kepada publik secara berkala kasus pelanggaran yang terjadi.

Upaya tersebut diharapkan menjadi efek jera bagi peserta pemilu yang melakukan pelanggaran. Sebab, sanski yang dijatuhkan diyakini akan memengaruhi preferensi pemilu pada pemilu.

Anggota KPU RI August Mellaz memastikan pihaknya tidak akan mengganti peraturan KPU (PKPU) soal kampanye untuk Pemilu 2024. Ia mengatakan KPU masih akan menggunakan PKPU Nomor 23/2018 dan perubahannya pada PKPU Nomor 33/2018 mengenai kampanye pemilu yang telah digunakan untuk Pemilu 2019 lalu.

"Untuk peraturan KPU tentang kampanye di tahun 2024 mendatang kemungkinan tidak akan diganti baru, tetapi bahwa rencananya dilakukan sejumlah revisi," ungkapnya.

Menurut Mellaz, revisi yang akan dilakukan pihaknya berkaitan dengan pendefinisian aturan iklan kampanye di media sosial. Ia mengakui, hal tersebut secara internal KPU telah disepkati untuk direvisi. Kendati demikian, definisi kampanye yang telah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu dipastikan tidak akan mengalami perubahan.

Termasuk sejauh mana peserta pemilu punya ruang gerak untuk menggunakan media sosial untuk kampanye," pungkas Mellaz.

Penyebaran kampanye berupa hoaks atau berita bohong serta ujaran kebencian berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang sempat terjadi pada Pemilu 2019 diproyeksi akan terulang lagi pada Pemilu 2024. Sebab, masih banyak persoalan terkait aturan kampanye politik di media sosial.