Nasional • 2 months ago
Upaya pemerintah untuk menggunakan produk dalam negeri dalam berbagai proyek yang dananya bersumber dari APBN sepertinya menghadapi tantangan. Dari rencana umum pengadaan tahun ini sekitar Rp1.100 triliun, hingga lebih dari satu semester transaksinya baru mencapai Rp387 triliun.
Artinya dalam sisa 5 bulan terakhir selama tahun ini, Kementerian/Lembaga (K/L) harus bisa melakukan transaksi hampir Rp800 triliun dari 5,3 juta paket pengadaan pemerintah. Sebuah angka yang benar-benar fantastis.
Pemerintah melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) pun mendorong agar pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dapat memacu belanja Produk Dalam Negeri (PDN) di beragam sektor. Salah satunya melalui sinergi dengan Kementerian Keuangan RI, Kementerian Hukum dan HAM RI, serta KADIN melalui kegiatan temu bisnis serta ICEF (Indonesia Catalogue Expo dan Forum) 2023. Melalui acara tersebut diharapkan 95% penggunaan belanja PDN dari total belanja yang mencapai Rp1.112,5 triliun dapat terwujud.
Di satu sisi, ide pemerintah untuk menghabiskan Rp800 triliun lebih untuk membeli produk lokal demi kegiatan pembangunan perlu diapresiasi. Terserapnya dana tersebut untuk industri lokal, baik mikro, kecil, menengah, dan besar sudah tentu akan menggerakkan perekonomian nasional dan bisa menambah jumlah pekerja di dalam negeri.
Pertanyaan yang kemudian muncul di benak publik apakah target pemerintah tidak terlalu tinggi di tengah keterbatasan kualitas dan kapasitas produksi di dalam negeri. Apalagi pemerintah juga memberlakukan kebijakan sertifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) agar produknya masuk dalam kategori produksi lokal dan bisa ditawarkan dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Berdasarkan website Pusat Peningkatan Produksi Dalam Negeri Kementerian Perindustrian, saat ini terdapat sekitar 16.325 nomor sertifikat TKDN yang terdata. Angka ini tentu sangat jauh dibandingkan dengan jumlah produk yang tercatat di e-katalog LKPP yang sudah mencapai 5,6 juta produk. Angka tersebut sekaligus menunjukkan apabila target pemerintah untuk menggunakan PDN dalam pengadaan pemerintah mungkin tidak realistis.
Mungkin untuk sejumlah produk lokal untuk proyek pembangunan jalan, kebijakan penggunaan PDN yang sudah tersertifikasi TKDN sangat masuk akal. Pasalnya, produk maupun keahlian di sektor tersebut sudah banyak tersedia di pasar dalam negeri dan tidak perlu impor.
Namun bagaimana dengan produk dengan teknologi tinggi untuk kebutuhan proyek seperti mass rapid transit (MRT) dan kereta cepat Jakarta Bandung yang membutuhkan pengetahuan tinggi untuk mengoperasikannya. Sementara saat ini Indonesia belum bisa menyediakan produk maupun tenaga kerja ahli dengan spesifikasi tersebut. Tentu menjadi kerumitan tersendiri.
Kita tentu masih ingat kejadian beberapa waktu lalu terkait pengadaan kereta rel listrik (KRL) untuk menambah armada rute commuter line Jabodetabek. Awalnya pemerintah begitu ngotot ingin memberdayakan produk lokal dalam pengadaan KRL dan menolak impor KRL bekas maupun baru demi aturan TKDN. Kenyataannya industri dalam negeri tidak mampu memenuhi permintaan tersebut dalam waktu singkat karena keterbatasan kapasitas. Dan akhirnya, pemerintah memutuskan untuk mengimpor unit KRL baru dari Jepang. Ini tentu tidak konsisten dengan kebijakan pemerintah sendiri.
Jangan sampai pemaksaan pemberlakuan TKDN secara terburu-buru untuk pengadaan proyek APBN menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri. Dengan ngotot meberlakukan TKDN tanpa menghitung kapasitas, kualitas, maupun value for money (efisiensi) justru menghambat efektivitas pembangunan nasional.
Pemerintah sebaiknya menyusun peta jalan (road map) yang lebih realistis untuk merealisasikan peningkatan penggunaan produk dalam negeri secara gradual demi memenuhi target 95% pada tahun tertentu. Apalagi Indonesia sebenarnya sudah memiliki Undang-Undang No. 3/2014 tentang Perindustrian yang mengatur penggunaan PDN. Jadi tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan.
Keinginan pemerintah agar produk lokal terserap dalam belanja Kementerian/Lembaga membutuhkan keberpihakan secara nyata, bukan lips service. Selain payung hukum yang tegas agar produk dalam negeri dibeli oleh Kementerian/Lembaga, kegemaran importasi harus dikurangi, dan penguatan kapasitas dan kualitas harus ditingkatkan. Produk dalam negeri harus benar-benar menjadi tuan di negeri sendiri.